Saat aku menulis ini, aku sedang mengenggam hatiku
erat-erat. Hati yang belum juga kembali utuh. Aku sedang mengingat-ingat mengapa pada
akhirnya kita dipisahkan. Debaran yang menyebut namamu sama sekali tak dapat
berhenti sedemikian hari. Memberi sesak yang terlalu pasti untuk ku ingkari. Ini
mungkin tak sekali saja terjadi, tapi pagi ini debarannya semakin menggila.
Memberikan energi paling indah yang bisa kurasakan dari kaki hingga puncak
kepala. Inilah jatuh cinta itu, sayang. Inilah kekuatan yang melebar dan
melebur di dalam sepasang hati kita yang dipasung kebersamaan.
Ku kakatakan sebuah pengakuan. Persetan dengan gengsi saat
rindu berhasil menguasai harga diri. Persetan dengan cacian cibiran bahkan
tertawa mereka disebrang sana. Sampai dengan hari kesekian, belum juga aku
mampu melupakan. Tak pernah kurasakan cinta setulus ini. Terlalu besar untuk
mampu kusimpan sendiri. Terlalu sakit dengan hanya kudiamkan sendiri.
Semua yang menyerupa kita, tidak terjadi dalam satu tepukan
nada. Ada bulan yang panjang tempatku menyembuhkan lara. Aku tak pernah segila
dan sewaras ini. Aku tak pernah sejatuh dan sekuat ini. Dan sayang, tanpa bisa
kau tolak, aku pun tahu kau belum mampu melupa segala tentang kita. Dan sayang, jika benar banyak caraku yang
salah dalam mengasihi, ku yakini kau paham betul ketulusan yang terlebih ini.
Sayang, biarkan kali ini aku tak melibatkan segala gengsi
dan harga diri. Aku hanya ingin kautahu bahwa aku mencintaimu dalam segala
kurang dan lebih. Dalam segala tawa dan konyol kita, dalam segala sedih dan
isak kita, dalam segala menang dan kalah, dalam segala bangkit dan jatuh.
Satu lagi pengakuan yang terlalu kasar harus ku katakan. Belum ada yang sesederhana dan sebrengsek kamu. Terima kasih telah menjadi dirimu.